Saturday, January 31, 2009

FLU BURUNG

PENDAHULUAN

Flu burung (Avian influenza) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas. Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus Avian influenza jenis H5N1 pada unggas dikonfirmasikan telah tejadi di Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, China, Indonesia dan Pakistan. Sumber virus diduga berasala dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinferksi.

Pada manusia, gejala flu burung biasanya sama dengan gejala influenza konvensional yaitu demam, batuk, sakit tenggorokan dan nyeri otot. Tetapi flu burung dapat mengakibatkan komplikasi yang mengancam jiwa.

Sampai dengan 22 September 2005, WHO telah mencatat sebanyak 115 kasus dengan 59 kematian pada manusia yang disebabkan virus ini.

Tetapi flu burung dapat bersifat simptomatik sesuai dengan gejala klinik, serta dapat disertai dengan pemberian anti virus.

DEFENISI

Flu burung atau Avian influenza adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus influenza A subtype H5N1 yang menyerang burung (unggas) ayam yang dapat menyerang manusia dengan gejala demam >380 C, batuk, pilek, nyeri otot, nyeri tenggorokan dan pernah kontak dengan binatang tersebut dalam 7 hari terakhir.

DEFENISI KASUS

A. Kasus observasi

Demam >380C disertai > 1 gejala berikut :

- Batuk

- Radang tenggorokan

- Sesak napas

Dimana pemeriksaan klinis dan laboratoriumnya sedang berlangsung.

B. Kasus ”possible” (suspek)

Kasus suspek adalah seorang yang menderita ISPA dengan gejala demam >380C, batuk dan sakit tenggorokan dan atau sesak napas serta dengan salah satu keadaan berikut :

- Hasil tes laboratorium positif untuk virus influenza A tanpa mengetahui subtypenya.

- Kontak 1 minggu sebelum timbul gejala denghan penderita “confirmed”.

- Kontak 1 minggu sebelum timbul gejala dengan unggas yang mati karena sakit.

- Bekerja di laboratorium yang memproses sample dari orang atau binatang yang disangka terinfeksi Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI).

C. Kasus ”probable”

Kausus probable adalah kasus suspek desertai salah satu keadaan :

- Hasil laboratorium tertentu positif untuk virus influenza A (H5) sepereti tes antibodi spesifik pada 1 spesimen serum.

- Dalam waktu singkat berlanjut menjadi pneuminia/ gagal pernapasan/ meninggal.

- Terbukti tidak terdapat penyebab lain.

D. Kasus ”confirmed”

Kasus confirmed adalah kasus suspek atau probable didukung oleh salah satu hasil pemeriksaan laboratorium :

- Kultur virus influenza A (H5N1) positif atau

- Hasil dengan pemeriksaan PCR positif untuk influenza H5 atau

- Peningkatan titer antibody spesifik H5 sebesar >4x atau

- Hasil dengan IFA positif untuk antigen H5.

EPIDEMIOLOGI

Flu burung menular dari unggas ke unggas, dari unggas ke manusia, melalui air liur, lendir dari hidung dan feses. Penyakit ini dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran dan sekret burung/unggas yang menderita flu burung. Penularan dari unggas ke manusia juga dapat terjadi jika bersinggungan langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung. Orang yang mempunyai resiko besar untuk terserang flu burung adalah pekerja peternakan unggas dan penjual unggas. Belum ada bukti adanya penularan pada manusia melalui daging unggas yang dikonsumsi.

Angka kejadian Aqvian influenza yang menginfeksi manusia sejak 1997 adalah :

§ H5N1, Hongkong, 1997 ; Avian influenza A terjadi pada hewan di peternakan dan manusia. Ditemukan 18 orang dirawat di Rumah Sakit, 6 di antaranya meninggal.

§ H9N2, China dan Hongkong, 1999 ; dilaporkan 2 angka kejadian, keduanya sembuh.

§ H7N2, Virgina, 2002 ; dilaporkan 1 orang yang memiliki hasil pemeriksaan serologik H7N2 positif.

§ H5N1, China dan Hongkong, 2003 ; dilaporkan 2 kasus dan 1 orang meninggal.

§ H7N7, Netherland, 2003 ; dilaporkan KLB pada beberapa peternakan, kemudian terjadi pada beberapa babi dan manusia. Dilaporkan 89 orang menderita H7N7 influenza, kebanyakan pada pekerja peternakan, 1 orang meninggal.

§ H9N2, Hongkong, 2003 ; dilaporkan pada 1 orang anak.

§ H7N2, New York, November 2003 ; dilaporkan pada 1 orang penderita.

§ H5N1, Thailand dan Vietnam, 2004 ; 12 orang di Thailand, 23 orang di Vietnam dengan total 23 orang meninggal.

§ H7N3, Canada, 2004, gejalanya berupa infeksi mata.

Sampai dengan 22 September 2005, WHO mencatat 115 kasus dengan 59 kematian pada manusia akibat virus ini, dengan rincian :

§ Indonesia : 3 kasus dengan 2 kematian

§ Vietnam : 91 kasus dengan 41 kematiuan

§ Thailkand : 17 kasus dengan 12 kematian

§ Kamboja : 4 kasus dengan 4 kematian

ETIOPATOGENESIS

Virus penyebab flu burung adalah virus RNA berulir negatif, termasuk genus virus influenza A dengan anggota family orthomyxoviridae. Flu burung dapat menyebar melalui udara, makanan unggas, air, peralatan dan pakaian yang telah tercemar oleh unggas yang sakit maupun kotorannya. Dalam banyak kejadian, itik dan itik liar (wild waterfowl) seringkali ditemukan tahan terhadap virus tersebut sehingga dapat menjadi carrier yang menyebabkan virus ke ayam atau menyebarkan virus flu burung melintasi benua.

Virus influenza dibagi menjadi 3 tipe : A, B dan C berdasarkan struktur virusnya. Tipe A bertanggung jawab terhadap angka kejadian influenza letal pandemik, sedangkan tipe B terjadi pada daerah yang lebih sempit (lokal). Tipe C gejalanya ringan. Influenza tipe B dan C biasanya hanya ditemukan pada manusia, sednagkan tipe A dapat menginfeksi manusia dan binatang, termasuk burung, babi, kuda, ikan paus dan kuda laut.

Berdasarkan struktur protein permukaan (Henagglutinin dan Neuromidase) terdapat 15 subtipe HA dan 9 subtipe NA. Kedua subtipe ini dapat bergabung membentuk berbagai kombinasi subtipe. Setiap kombinasi membentuk subtipe yang berbeda. Subtipe virus flu A dapat menyebabkan influenza pada manusia yaitu subtipe H1N1, H1N2, H3N2, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, dan H7N7. Strain yang sangat virulen yang dapat menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A H5N1. Virus tersebut dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 220 C dan lebih dari 30 hari pada suhu 00 C. Virus ini akan mati pada pemanasan 600 C selama 30 menit atau 560 C selama 3 jam dengan detrgen desinfektan misalnya formalin, serta cairan yang mengandung iodine.

Virus influenza tipe A selanjutnya dibagi menjadi strain-strain yang tersusun secara konstan. Kemampuan virus influenza mengubah susunan genetiknya dan menggantinya membuat virus ini tidak dapat diramalkan dan dapat bersifat mematikan.

Virus influenza dapat berubah secara cepat, terus menerus dan kadang-kadang berubah drastis melalui 2 cara :

1. Antigenic drift. Penyimpangan ini dalam skala yang kecil dan permanen yang terjadi pada materi genetik virus karena virus tidak dapat memperbaiki kerusakan genetik yang terjadi, sehingga terbentuk strain baru menggantikan yang lama.

2. Antigenic shift. Hal ini dapat terjadi jika virus influenza tipe A dari spesies yang berbeda seperti contoh burung dan manusia saling bertukar dan menggabungkan gen yang menghasilkan strain yang baru.

Penularan virus Avian influenza pada manusia melalui 2 cara :

1. Secara langsung dari unggas, lingkungan yang terkontaminasi virus ke manusia.

2. Melalui host penularan seperti babi.

Virus Avian influenza masuk ke tubuh dan langsung menyerang paru-paru, seiring dengan terganggunya fungsi paru-paru, pasokan oksigen ke seluruh tubuh akan ikut terganggu dan mengakibatkan kegagalan fungsi organ. Ketika kerusakan organ sampai pada tahap lanjut, korban beresiko meninggal.

GEJALA KLINIK

Gejala flu burung pada manusia pada dasarnay sama dengan fku biasa. Adanya variasi berupa :

- Demam (suhu badan >380 C)

- Batuk

- Lemas

- Sakit tenggorokan

- Sakit kepala

- Tidak nafsu makan

- Muntah, nyeri perut, diare

- Nyeri sendi

- Infeksi selaput mata (konjungtivitis)

- Dalam keadaan memburuk, terjadi severe respiratory disdtress.

Masa inkubasi :

- Pada unggas : 1 minggu

- Pada manusia : 1-3 hari

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

A. Rutin : Untuk mengetahui keadaan kesehatan pasien.

Darah lengkap : hemoglobin, lekosit, trombosit, LED, albumin/globulin, SGOT/SGPT, ureum/kreatinin.

B. Mikrobiologi

- Pemeriksaan gram dan basil tahan asam

- Kultur usap tenggorokan/sputum

C. Analisa Gas Darah

D. Pemeriksaan serologik

Dapat dilakukan rapid test terhadap virus influenza walaupun hasilnya mungkin tidak terlalu tepat dan deteksi antibodi (ELISA) serta antigen.

E. Pemeriksaan foto thoraks dengan gambaran infiltrat yang tersebar di paru menunjukkan pada kasus ini adalah pneumonia.

DIAGNOSIS

- Anamnesis

- Pemeriksaan fisis

- Laboratorium

PENATALAKSANAAN

- Penderita dirawat di ruang isolasi selama 7 hari (masa penularan) karena ditakutkan adanya transmisi melalui udara.

- Oksigenasi jika terdapat sesak napas, dan cenderung ke arah gagal napas dengan mempertahankan saturasi O2 >90%.

- Hidrasi, yaitu pemberian cairan parenteral atau minum banyak.

- Terapi simptomatis untuk gejala flu, seperti anajgesik/antipiretik, dekongestan dan antitusif.

- Amantadine/Rimantadine (obat penghambat hemaglutinin) diberikan pada awal infeksi, sedapat mungkin dalam 48 jam pertama selama 3–5 hari dengan dosis 5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Dosisi diturunkan pada penderita usia lanjut dan penderita penurunan fungsi hati atau ginjal.

- Oseltamivir (obat penghambat neuromidase) diberikan untuk anak <>15-23 kg adalah 45 mg 2 kali sehari, >23-40 kg adalah 60 mg 2 kali sehari. Dosis untuk penderita usia >13 tahun adalah 75 mg 2 kali sehari. Harus diberikan dalam waktu 36 jam setelah osnet influenza dan diberikan selama 5 hari.

KOMPLIKASI

- Pneumonia

- Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)

PENCEGAHAN

A. Pada unggas

  1. Pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi flu burung.
  2. Vaksinasi pada unggas yang sehat.

B. Pada manusia

  1. Kelompok beresiko tinggi (pekerja peternakan dan pedagang)

- Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis kerja

- Hindari kontak langsung dengan ayam atau unggas yang terinferksi flu burung

- Menggunakan alat pelindung seperti masker dan pakaian krja

- Meninggalkan pakaian kerja di tempat kerja

- Membersihkan kotoran unggas setiap hari

- Imunisasi

  1. Masyarakat umum

- Menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi dan istirahat cukup.

- Pengolahan unggas dengan cara yang benar yaitu :

· Pilih unggas yang sehat

· Memasak daging ayam sampai dengan suhu 800 C selama 1 menit dan telur sampai dengan suhu 640 C selama 4,5 menit.

PERAN PERAWAT KOMUNITAS DALAM MENGANGANI KASUS

FLU BURUNG DI MASYARAKAT

Sebelum membahas tentang peran perawat dalam penanganan kasus flu burung ini, maka perlu diketahui terkebih dahulu peran perawat komunitas. Peran perawat komunitas tidak terlepas dari peran perawat dalam melakukan perawatan kesehatan keluarga, karena lingkup perawatan kesehatan komunitas adalah individu, keluarga dan kelompok. Oleh karena itu peran perawat dalam hal ini adalah sebagai berikut :

1. Peran pendidik

Perawat perlu memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga dan masyarakat agar keluarga dapat melakukan program asuhan kesehatan keluarga secara mandiri dan bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan keluarga /masyarakat.

Peran perawat sebagai pendidik dalam mengangani kasus flu burung yaitu perawat harus memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bagaimana cara pencegahan dan penularan penyakit flu burung ini. Cara pencegahan yang harus diajarkan kepada masyarakat antara lain penanganan terhadap kelompok beresiko tinggi. Kelompok beresiko tinggi terkena flu burung adalah mereka yang bekerja di lahan peternakan dan pedagang unggas.

Pendidikan yang harus diajarkan kepada mereka ini adalah mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis kerja, hindari kontak langsung dengan ayam atau unggas yang terinfeksi flu burung, menggunakan alat pelindung seperti masker dan pakaian kerja, meninggalkan pakaian kerja di tempat kerja, membersihkan kotoran unggas setiap hari dan imunisasi. Perawat juga memberikan pendidikan tentang pencegahan penyakit flu burung ini kepada masyarakat umum. Pendidikan yang diberikan adalah menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi dan istirahat cukup, pengolahan unggas dengan cara yang benar yaitu pilih unggas yang sehat, memasak daging ayam sampai dengan suhu 800C selamam 1 menit dan telur sampai dengan suhu 640C selama 4,5 menit.

2. Peran koordinator

Kordinasi diperlukan pada perawatan berkelanjutan agar pelayanan yang komprehensif dapat tercapai. Koordinasi juga sangat diperlukan untuk mengatur program kesehatan atau terapi dari berbagai disiplin ilmu agar tidak terjadi tumpang tindih dan pengulangan.

Peran perawat sebagai koordinator dalam menangani kasus flu burung di masyarakat adalah perawat mampu mengkordinir masyarakat/keluarga dalam upaya-upaya kesehatan terutama yang menyangkut flu burung, mulai dari preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif.

3. Peran pelaksana

Perawat yang bekerja dengan klien baik di klinik, RS, rumah maupun di masyarakat bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan langsung. Kontak pertama perawat kepada masyarakat melalui anggota keluarga/masyarakat yang sakit.

Peran perawat sebagai pelaksana dalam menangani kasus flu burung adalah memberikan asuhan keperawatan langsung kepada penderita dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. Proses keperawatan ini merupakan metode ilmiah yang digunakan perawat dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi klien. Dalam pendekatan proses keperawatan ini perawat melakukan asuhan keperawatan dengan tahap-tahap proses keperawatan yang dimulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

4. Peran pengawas kesehatan

Sebagai pengawas kesehatan, perawat harus melakukan home visit yang teratur untuk mengidentifikasi atau melakukan pengkajian tentang kesehatan keluarga/masyarakat.

Perawat sebagai pengawas kesehatan dalam masalah flu burung adalah melakukan pengawasan terhadap masyarakat yang terpapar dengan virus flu burung yaitu pasien maupun masyarakat beresiko tinggi terkena virus flu burung dan masyarakat umum.

5. Peran konsultan

Perawat sebagai nara sumber bagi keluarga/masyarakat di dalam mengatasi masalah kesehatan. Agar masyarakat mau meminta nasihat kepada perawat, maka hubungan perawat dengan masyarakat harus dibina dnegan baik, perawat harus terbuka dan dapat dipercaya.

Perawat sebagai konsultan dalam menangani kasus flu burung adalah perawat mampu memberikan/menjawab berbagai persoalan dan masalah yang ditanyakan oleh keluarga dan masyarakat yang menyangkut flu burung, dan perawat mampu untuk memberikan solusi dan rencana-rencana apa yang akan dilakukan kedepannya.

6. Peran kolaborasi

Perawat komunitas juga harus bekerjasama dengan pelayanan RS atau anggota tim kesehatan lain untuk mencapai tahap kesehatan keluarga/masyarakat yang optimal.

Perawat sebagai kolaborator dalam mengangani kasus flu burung yaitu perawat mampu untuk melaporkan kejadian ini baik secara vertikal maupun secara horisontal. Perawat komunitas melaporkan kasus ke puskesmas dan dinas kesehatan kota/kabupaten dan juga perawat komunitas mampu untuk berkolaborasi dengan dokter atau RS yang berkompeten untuk mewrawat penderita flu burung.

7. Peran penemu kasus

Peran perawat komunitas yang juga sangat penting adalah mengidentifikasi masalah kesehatan secara dini, sehingga tidak terjadi ledakan atau wabah.

Perawat sebagai penemu kasus dalam mengidentifikasi penyakit flu burung adalah perawat mampu mengenali gejala dini dari penyakit flu burung dengan menggunakan konsep teoritik yang dimilikinya, perawat mampu mengenali tanda awal dari penyakit flu burung yang didukung oleh rowayat pasien terpapar dengan unggas pada 7 hari terakhir. Peran ini sangat penting dimana kalau seorang perawat tidak mampu mengenali masalah ini maka tyidak dapat dipungkiri bahwa wabah flu burung dapat terjadi dan ini mengakibatkan endemi dan tidak ditangani secara cepat dan tepat, maka dapat mengancam jiwa.

8. Peran fasilitator

Peran perawat komunitas di sini ialah membantu keluarga/masyarakat di dalam menghadapi kendala untuk meningkatkan derajat kesehatan. Kendala yang sering dialami keluarga/masyarakat adalah keraguan di dalam menggunakan fasilitas kesehatan, masalah ekonomi dan sosial budaya. Agar dapat melaksanakan peran fasilitator dengan baik maka perawat komunitas harus mengetahui sistem pelayanan kesehatan misalnya sistem rujukan dan dana sehat.

Perawat komunitas harus mampu memfasilitasi keluarga/masyarakat dalam menggunakan pelayanan kesehatan, perawat mampu menjelaskan kepada keluarga/ masyarakat tentang pentingnya menggunakan pelayanan kesehatan. Apabila perawat komunitas menemukan keluarga/masyarakat dengan ekonomi lemah yang terkena flu burung, maka perawat mampu memfasilitasinya untuk mendapatkan dana sehat yang mana dana sehat ini sangat berguna dan dapat digunakan di puskesmas maupun di rumah sakit.

9. Peran modifikasi lingkungan

Perawat komunitas juga harus mampu memodifikasi lingkungan rumah maupun lingkungan masyarakat agar dapat tercipta lingkungan yang sehat.

Peran perawat komunitas sebagai modifikator lingkungan dalam mengangani kasus flu burung adalah perawat komunitas mampu untuk bersama-sama masyarakat pekerja peternakan unggas untuk membersihkan kotoran unggas setiap hari demi mencegah penularan yang luas. Dan karena virus flu burung juga dapat menular melalui udara pernapasan, maka modifiksi lain juga yang dilakukan adalah penggunaan masker oleh pekerja peternakan unggas.

Inti dari semua peran perawat komunitas ada 3 peran yaitu :

a. Peran pelaksana

Peran pelaksana dari perawat komunitas dalam menagnagi kasus flu burung ini yaitu memberikan asuhan keperawatan langsung kepada penderita, keluarga maupun masyarakat dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.

b. Peran kepemimpinan

Peran kepemimpinan dari perawat komunitas dalam menangani kasus flu burung adalah perawat mampu memnpengaruhi masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan dan penularan dari virus flu burung dan bersama-sama dnegan masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui upaya-upaya kesehatan.

c. Peran peneliti

Peran peneliti dari perawat komunitas ini bukan berarti melakukan penelitian seperti yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu pendidikan tinggi. Penelitian yang dimaksud di sini adalah melakukan kajian-kajian masalah kesehatan dan dapat dipaparkan kepada orang lain. Pada kasus flu burung ini, perawat peneliti melakukan kajian-kajian tentang flu burung dan dapat dipaparkan kepada masyarakat/keluarga maupun tenaga kesehatan lain untuk dilakukan kontribusi-kontribusi yang dapat digunakan di bidangnya.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama T.Y, Flu Burung di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, UI, Jakarta, 2004

Brunner&Suddarth, Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 vol 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC,Jakarta, 2002

Depkes RI, Aspek Veteriner dan Epidemiologi Anti Influenza, Direktur Kesehatan Hewan, Jakarta, 2004

Priyanti Z.S, Influenza Burung Pada Manusia, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, FKUI, Jakarta, 2004

Soroso T, Antisipasi Depkes Dalam Menghadapi Flu Burung, Depkes RI, Jakarta, 2004

__________, Makalah Kuliah Asuhan Keperawatan Keluarga, PSIK FK Unhas, Makassar, 2005

__________, Flu Burung Imun Terhadap Tamiflu, www.kcm.co.id, Jakarta, 2005

Thursday, January 29, 2009

http://www.blogbisnisinternet.com/?id=maluku

Tetanus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi sistem urat saraf dan otot. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Patogenesis dan Patofisiologi

Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam darah tubuh yang mengalami cedera (periode inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme).

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.

[sunting] Pengobatan

Untuk menetralisir racun, diberikan immunoglobulin tetanus. Antibiotik tetrasiklin dan penisilin diberikan untuk mencegah pembentukan racun lebih lanjut.

Obat lainnya bisa diberikan untuk menenangkan penderita, mengendalikan kejang dan mengendurkan otot-otot. Penderita biasanya dirawat di rumah sakit dan ditempatkan dalam ruangan yang tenang. Untuk infeksi menengah sampai berat, mungkin perlu dipasang ventilator untuk membantu pernafasan.

Makanan diberikan melalui infus atau selang nasogastrik. Untuk membuang kotoran, dipasang kateter. Penderita sebaiknya berbaring bergantian miring ke kiri atau ke kanan dan dipaksa untuk batuk guna mencegah terjadinya pneumonia.

Untuk mengurangi nyeri diberikan kodein. Obat lainnya bisa diberikan untuk mengendalikan tekanan darah dan denyut jantung. Setelah sembuh, harus diberikan vaksinasi lengkap karena infeksi tetanus tidak memberikan kekebalan terhadap infeksi berikutnya.

[sunting] Prognosis

Tetanus memiliki angka kematian sampai 50%. Kematian biasanya terjadi pada penderita yang sangat muda, sangat tua dan pemakai obat suntik. Jika gejalanya memburuk dengan segera atau jika pengobatan tertunda, maka prognosisnya buruk.

[sunting] Pencegahan

Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih baik daripada mengobatinya. Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus). Bagi yang sudah dewasa sebaiknya menerima booster

Pada seseorang yang memiliki luka, jika:

  1. Telah menerima booster tetanus dalam waktu 5 tahun terakhir, tidak perlu menjalani vaksinasi lebih lanjut
  2. Belum pernah menerima booster dalam waktu 5 tahun terakhir, segera diberikan vaksinasi
  3. Belum pernah menjalani vaksinasi atau vaksinasinya tidak lengkap, diberikan suntikan immunoglobulin tetanus dan suntikan pertama dari vaksinasi 3 bulanan.

Setiap luka (terutama luka tusukan yang dalam) harus dibersihkan secara seksama karena kotoran dan jaringan mati akan mempermudah pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.

Tuesday, January 27, 2009

http://www.blogbisnisinternet.com/?id=maluku

Campak Jerman atau Rubbela

Rubella , yang sering dikenal dengan istilah campak
Jerman atau campak 3 hari adalah sebuah infeksi yang menyerang, terutama, kulit
dan kelenjar getah bening.
Penyakit ini disebabkan oleh virus rubella (virus yang berbeda dari virus yang menyebabkan penyakit campak), yang biasanya ditularkan melalui cairan yang keluar dari hidung atau tenggorokan. Penyakit ini juga dapat ditularkan melalui aliran darah seorang wanita yang sedang hamil kepada janin yang dikandungnya. Karena penyakit ini tergolong penyakit ringan pada anak-anak, bahaya medis yang utama dari penyakit ini adalah infeksi pada wanita
hamil, yang dapat menyebabkan sindrom cacat bawaan pada janin tersebut.

Sebelum vaksin untuk melawan Rubella tersedia pada tahun 1969, epidemi
rubella terjadi setiap 6 s.d. 9 tahun. Anak-anak dengan usia 5 - 9 menjadi korban
utama dan muncul banyak kasus rubella bawaan. Sekarang, dengan adanya program imunisasi pada anak-anak dan remaja usia dini, hanya muncul sedikit kasus rubella bawaan.
Most rubella infections today appear in young, unimmunized adults rather than children. In fact, experts estimate that 10% of young adults are currently susceptible to rubella, which could pose a danger to any children they might have someday.

Saat ini, sebagian besar infeksi rubella terjadi pada pria-wanita dewasa usia
muda dan bukan pada anak-anak. Munurut fakta, para ahli memperkirakan bahwa 10%
anak muda saat ini rentan terhadap rubella. Hal ini memicu bahaya laten yang mungkin akan berdampak pada anak-anak yang akan mereka miliki di masa datang.

Tanda-tanda dan gejala
Infeksi rubella dimulai dengan adanya demam ringan
selama 1 atau 2 hari (99 - 100 Derajat Fajrenheit atau 37.2 - 37.8 derajat
celcius) dan kelenjar getah bening yang membengkak dan perih, biasanya di bagian
belakang leher atau di belakang telinga. Pada hari kedua atau ketiga,
bintik-bintik (ruam) muncul di wajah dan menjalar ke arah bawah. Di saat bintik ini
menjalar ke bawah, wajah kembali bersih dari bintik-bintik. Bintik-bintik ini
biasanya menjadi tanda pertama yang dikenali oleh para orang tua.
Ruam rubella dapat terlihat seperti kebanyakan ruam yang diakibatkan oleh virus lain. Terlihat sebagai titik merah atau merah muda, yang dapat berbaur menyatu menjadi sehingga terbentuk "tambalan" berwarna yang merata. Bintik ini dapat terasa gatal dan terjadi hingga tiga hari. Dengan berlalunya bintik-bintik ini, kulit yang terkena kadangkala megelupas halus.
Gejala lain dari rubella, yang sering ditemui pada remaja dan orang dewasa,
termasuk: sakit kepala, kurang nafsu makan, "conjunctivitis" ringan
(pembengkakan pada kelopak mata dan bola mata), hidung yang sesak dan basah,
kelenjar getah bening yang membengkak di bagian lain tubuh, serta adanya rasa sakit dan bengkak pada persendian (terutama pada wanita muda). Banyak orang yang terkena rubella tanpa menunjukkan adanya gejala apa-apa.


Ketika rubella terjadi pada wanita hamil, dapat terjadi sindrom rubella bawaan,
yang potensial menimbulkan kerusakan pada janin yang sedang tumbuh. Anak yang terkena rubella sebelum dilahirkan beresiko tinggi mengalami keterlambatan pertumbuhan, keterlambatan mental, kesalahan bentuk jantung dan mata, tuli, dan problematika hati, limpa dan sumsum tulang.

Penularan
Virus rubella menular dari satu orang ke orang lain melalui sejumlah kecil cairan hidung dan tenggorokan. Orang yang mengidap rubella sangat berpotensi menularkan virus tersebut dalam periode satu minggu sebelum sampai satu minggu sesudah ruam muncul. Seseorang yang terinfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala rubella tetap dapat menularkan virus tersebut
Balita yang memiliki rubella bawaan dapat melepaskan virus tersebut melalui urin dan cairan hidung dan tenggorokan selama satu tahu atau lebih dan dapat menularkan virus terhadap orang yang belum terimunisasi.

Pencegahan
Rubella dapat dicegah dengan vaksin rubella. Imunisasi rubella secara luas dan merata sangat penting untuk mengendalikan penyebaran penyakit ini, yang pada akhirnya dapat mencegah cacat bawaan/lahir akibat sindrom rubella bawaan. Vaksin ini biasanya diberikan kepada anak-anak berusia 12 - 15 bulan dan menjadi bagian dari imunisasi MMR yang telah terjadwal. Dosis
kedua MMR biasanya diberikan pada usia 4 - 6 tahun, dan tidak boleh lebih dari 11 - 12 tahun. Sebagaimana dengan imunisasi lainnya, selalu ada pengecualian tertentu dan kasus-kasus khusus. Dokter anak akan memiliki informasi yang tepat. Vaksin rubella tidak boelh diberikan kepada wanita hamil atau wanita yang akan hamil dalam jangka waktu satu bulan sesudah pemberian vaksin. Jika anda berpikir untuk hamil, pastikan bahwa anda kebal terhadap
rubella melalui tes darah. Jika tidak, sebaiknya anda mendapatkan vaksinasi setidaknya
satu bulan sebelum memulai kehamilan. Wanita hamil yang tidak kebal terhadap rubella harus
menghindari orang yang mengidap penyakit ini harus diberikan vaksinasi
setelah melahirkan sehingga dia akan kebal terhadap penyakit ini di kehamilan
berikutnya Masa inkubasi Periode inkubasi rubella adalah 14 - 23 hari, dengan
rata-rata inkubasi adalah 16 - 18 hari.

Jangka waktu
Ruam rubella biasanya berlangsung selama 3 hari. Pembengkakan kelenjar akan
berlangsung selama satu minggu atau lebih dan sakit persendian akan berlangsung selama lebih dari dua minggu. Anak-anak yang terkena rubella akan pulih dalam jangka waktu satu minggu sementara pada orang dewasa membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih.

Penanganan
Rubella tidak dapat ditangani dengan antibiotik karena AB tidak dapat digunakan untuk mengatasi infeksi virus Wanita hamil yang terkena rubella harus segera menghubungi DSOGnya secepatnya.
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.

Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.

Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan bahwa Tuberkulosis / TBC merupakan penyakit kedua penyebab kematian, sedangkan pada tahun 1986 merupakan penyebab kematian keempat. Pada tahun 1999 WHO Global Surveillance memperkirakan di Indonesia terdapat 583.000 penderita Tuberkulosis / TBC baru pertahun dengan 262.000 BTA positif atau insidens rate kira-kira 130 per 100.000 penduduk. Kematian akibat Tuberkulosis / TBC diperkirakan menimpa 140.000 penduduk tiap tahun.

Jumlah penderita TBC paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua menit muncul satu penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal akibat TBC di Indonesia.

Kenyataan mengenai penyakit TBC di Indonesia begitu mengkhawatirkan, sehingga kita harus waspada sejak dini & mendapatkan informasi lengkap tentang penyakit TBC . Simak semua informasi mengenai penyakit TBC, pengobatan TBC, Uji TBC dan Klasifikasi TBC, Obat TBC dan pertanyaan seputar TBC yang ada di website ini.

Malaria

The most ambitious plan in half a century to fight malaria, unveiled last week by a who's who of top malaria scientists, won't work unless there's broad public support for the sustained spending required to eradicate the disease. For this reason, celebrities, such as Bono, who was on hand for the press conference last week, have signed onto the cause. Actor Forest Whitaker, who won an Academy Award for his role as Idi Amin in the film The Last King of Scotland, saw firsthand how dangerous the disease can be when many of his colleagues came down with malaria during filming in Uganda. He and his wife took a trip to Angola earlier this year, under the auspices of American Idol, to raise awareness for malaria victims. He talked with NEWSWEEK's Jaime Cunningham about his experiences in Africa and what needs to be done to control malaria. Excerpts:

NEWSWEEK: What got you interested in being involved with malaria in the first place? Forest Whitaker: I started to do some research into different organizations. After that, I spent some time in Uganda [filming The Last King of Scotland] where malaria was a problem as well, and I got an opportunity to visit a few other places. I wanted to see if there was some way that I could help educate, raise money and stop this epidemic that's losing so many lives. And it was really sad to me that a million people die a year. It is a disease that largely affects the underprivileged, the really poor. And 90 percent of the people are on the African continent, which also affected me. I was surprised that we are allowing this thing to happen at the magnitude and the rate that it is. It has been going on like this forever it seems, and only recently have people been starting to step up and help eradicate it.

Did you worry about malaria when you were filming The Last King of Scotland?
I remember the fear that people had of catching the disease when we were in Uganda. I know the filmmaker was trying not to take the malaria medication, which you can only take for a certain amount of time. Some people would try not [to take it]. A number of the cast members that were of African descent that weren't taking the malaria medications were getting struck down by the disease. Like I say, they'd built up resistance—these were 40 year old people, but they were still affected and they had to go take medication. They had fevers and diarrhea and had to step away from the project from a week or two weeks. So everyone started to take it.

Malaria

Malaria is caused by a parasite called Plasmodium, which is transmitted via the bites of infected mosquitoes. In the human body, the parasites multiply in the liver, and then infect red blood cells.

Symptoms of malaria include fever, headache, and vomiting, and usually appear between 10 and 15 days after the mosquito bite. If not treated, malaria can quickly become life-threatening by disrupting the blood supply to vital organs. In many parts of the world, the parasites have developed resistance to a number of malaria medicines.

Key interventions to control malaria include: prompt and effective treatment with artemisinin-based combination therapies; use of insecticidal nets by people at risk; and indoor residual spraying with insecticide to control the vector mosquitoes.

Tuberculosis

Infection and transmission

Tuberculosis (TB) is a contagious disease. Like the common cold, it spreads through the air. Only people who are sick with TB in their lungs are infectious. When infectious people cough, sneeze, talk or spit, they propel TB germs, known as bacilli, into the air. A person needs only to inhale a small number of these to be infected.

Left untreated, each person with active TB disease will infect on average between 10 and 15 people every year. But people infected with TB bacilli will not necessarily become sick with the disease. The immune system "walls off" the TB bacilli which, protected by a thick waxy coat, can lie dormant for years. When someone's immune system is weakened, the chances of becoming sick are greater.

  • Someone in the world is newly infected with TB bacilli every second.
  • Overall, one-third of the world's population is currently infected with the TB bacillus.
  • 5-10% of people who are infected with TB bacilli (but who are not infected with HIV) become sick or infectious at some time during their life. People with HIV and TB infection are much more likely to develop TB.

Global and regional incidence

The World Health Organization (WHO) estimates that the largest number of new TB cases in 2005 occurred in the South-East Asia Region, which accounted for 34% of incident cases globally. However, the estimated incidence rate in sub-Saharan Africa is nearly twice that of the South-East Asia Region, at nearly 350 cases per 100 000 population.

It is estimated that 1.6 million deaths resulted from TB in 2005. Both the highest number of deaths and the highest mortality per capita are in the Africa Region. The TB epidemic in Africa grew rapidly during the 1990s, but this growth has been slowing each year, and incidence rates now appear to have stabilized or begun to fall.

In 2005, estimated per capita TB incidence was stable or falling in all six WHO regions. However, the slow decline in incidence rates per capita is offset by population growth. Consequently, the number of new cases arising each year is still increasing globally and in the WHO regions of Africa, the Eastern Mediterranean and South-East Asia.

Estimated TB Incidence, Prevalence and Mortality, 2005

Incidencea Prevalencea TB Mortality
All forms Smear-positiveb
WHO region number (thousands) per 100 000 pop number (thousands) per 100 000 pop number (thousands) per 100 000 pop number (thousands) per 100 000 pop
(% of global total)
Africa 2 529 (29) 343 1 088 147 3 773 511 544 74
The Americas 352 (4) 39 157 18 448 50 49 5.5
Eastern Mediterranean 565 (6) 104 253 47 881 163 112 21
Europe 445 (5) 50 199 23 525 60 66 7.4
South-East Asia 2 993 (34) 181 1 339 81 4 809 290 512 31
Western Pacific 1 927 (22) 110 866 49 3 616 206 295 17
Global 8 811 (100) 136 3 902 60 14 052 217 1 577 24

aIncidence - new cases arising in given period; prevalence - the number of cases which exist in the population at a given point in time.
bSmear-positive cases are those confirmed by smear microscopy, and are the most infectious cases.
pop indicates population.

HIV and TB

HIV and TB form a lethal combination, each speeding the other's progress. HIV weakens the immune system. Someone who is HIV-positive and infected with TB bacilli is many times more likely to become sick with TB than someone infected with TB bacilli who is HIV-negative. TB is a leading cause of death among people who are HIV-positive. In Africa, HIV is the single most important factor contributing to the increase in incidence of TB since 1990.

WHO and its international partners have formed the TB/HIV Working Group, which develops global policy on the control of HIV-related TB and advises on how those fighting against TB and HIV can work together to tackle this lethal combination. The interim policy on collaborative TB/HIV activities describes steps to create mechanisms of collaboration between TB and HIV/AIDS programmes, to reduce the burden of TB among people and reducing the burden of HIV among TB patients.

Drug-resistant TB

Until 50 years ago, there were no medicines to cure TB. Now, strains that are resistant to a single drug have been documented in every country surveyed; what is more, strains of TB resistant to all major anti-TB drugs have emerged. Drug-resistant TB is caused by inconsistent or partial treatment, when patients do not take all their medicines regularly for the required period because they start to feel better, because doctors and health workers prescribe the wrong treatment regimens, or because the drug supply is unreliable. A particularly dangerous form of drug-resistant TB is multidrug-resistant TB (MDR-TB), which is defined as the disease caused by TB bacilli resistant to at least isoniazid and rifampicin, the two most powerful anti-TB drugs. Rates of MDR-TB are high in some countries, especially in the former Soviet Union, and threaten TB control efforts.

While drug-resistant TB is generally treatable, it requires extensive chemotherapy (up to two years of treatment) with second-line anti-TB drugs which are more costly than first-line drugs, and which produce adverse drug reactions that are more severe, though manageable. Quality-assured second-line anti-TB drugs are available at reduced prices for projects approved by the Green Light Committee.

The emergence of extensively drug-resistant (XDR) TB, particularly in settings where many TB patients are also infected with HIV, poses a serious threat to TB control, and confirms the urgent need to strengthen basic TB control and to apply the new WHO guidelines for the programmatic management of drug-resistant TB.

The Stop TB Strategy, the Global Plan to Stop TB, 2006–2015 and targets for TB control

In 2006, WHO launched the new Stop TB Strategy. The core of this strategy is DOTS, the TB control approach launched by WHO in 1995. Since its launch, more than 22 million patients have been treated under DOTS-based services. The new six-point strategy builds on this success, while recognizing the key challenges of TB/HIV and MDR-TB. It also responds to access, equity and quality constraints, and adopts evidence-based innovations in engaging with private health-care providers, empowering affected people and communities and helping to strengthen health systems and promote research.

The six components of the Stop TB Strategy are:

  • Pursuing high-quality DOTS expansion and enhancement. Making high-quality services widely available and accessible to all those who need them, including the poorest and most vulnerable, requires DOTS expansion to even the remotest areas. In 2004, 183 countries (including all 22 of the high-burden countries which account for 80% of the world's TB cases) were implementing DOTS in at least part of the country.
  • Addressing TB/HIV, MDR-TB and other challenges. Addressing TB/HIV, MDR-TB and other challenges requires much greater action and input than DOTS implementation and is essential to achieving the targets set for 2015, including the United Nations Millennium Development Goal relating to TB (Goal 6; Target 8).
  • Contributing to health system strengthening. National TB control programmes must contribute to overall strategies to advance financing, planning, management, information and supply systems and innovative service delivery scale-up.
  • Engaging all care providers. TB patients seek care from a wide array of public, private, corporate and voluntary health-care providers. To be able to reach all patients and ensure that they receive high-quality care, all types of health-care providers are to be engaged.
  • Empowering people with TB, and communities. Community TB care projects have shown how people and communities can undertake some essential TB control tasks. These networks can mobilize civil societies and also ensure political support and long-term sustainability for TB control programmes.
  • Enabling and promoting research. While current tools can control TB, improved practices and elimination will depend on new diagnostics, drugs and vaccines.

The strategy is to be implemented over the next 10 years as described in The Global Plan to Stop TB, 2006–2015. The Global Plan is a comprehensive assessment of the action and resources needed to implement the Stop TB Strategy and to achieve the following targets:

  • Millennium Development Goal (MDG) 6, Target 8: Halt and begin to reverse the incidence of TB by 2015
  • Targets linked to the MDGs and endorsed by the Stop TB Partnership:
    • by 2005: detect at least 70% of new sputum smear-positive TB cases and cure at least 85% of these cases
    • by 2015: reduce TB prevalence and death rates by 50% relative to 1990
    • by 2050: eliminate TB as a public health problem (1 case per million population)

Progress towards targets

In 2005, an estimated 60% of new smear-positive cases were treated under DOTS – just short of the 70% target.

Treatment success in the 2004 DOTS cohort of 2.1 million patients was 84% on average, close to the 85% target. However, cure rates in the African and European regions were only 74%.

The 2007 WHO report Global TB Control concluded that both the 2005 targets were met by the Western Pacific Region, and by 26 individual countries (including 3 of the 22 high-burden countries: China, the Philippines and Viet Nam.

The global TB incidence rate had probably peaked in 2005, and if the Stop TB Strategy is implemented as set out in the Global Plan, the resulting improvements in TB control should halve prevalence and death rates in all regions except Africa and Eastern Europe by 2015.